MENGAIS HARAPAN DI TENGAH DEKADENSI MENTAL REMAJA
Semalam saya diundang oleh Ibu Lurah Penggilingan untuk membahas seputar masalah-masalah yang terjadi di Kelurahan Penggilingan, terutama masalah yang kerap kali terjadi pada remaja. By the way, saya adalah pendatang baru di Penggilingan, tepatnya di Kecamatan Cakung, yang saya anggap daerah keras. Bagaimana tidak, urbanisasi di daerah ini makin tidak terkendali. Pada tahun 2015 pertumbuhan penduduk mencapai kurang lebih 105.000 jiwa pada siang hari (data statistik dari kelurahan Penggilingan), belum lagi menghadapi dampak dari urbanisasi itu sendiri.
Oleh karena banyaknya urbanisasi yang terjadi di daerah ini, shock culture kehidupan Jakarta menjadi masalah terbesar remaja-remaja di daerah kami. Mereka beranggapan bahwa kehidupan Jakarta yang mereka lihat di televisi dan media adalah nyata. Pertama kali, pada tahun 2012 saya dikejutkan dengan terjadinya tawuran antar pelajar yang melibatkan pelajar dari berbagai kalangan, bahkan anak SD yang mungkin berusia delapan tahunan. Saya tidak tahu dari mana anak-anak di bawah umur bahkan anak SD kelas dua sudah bisa memegang senjata tajam seperti golok, celurit, gear motor tanpa pengawasan orang tua. Mereka sangat mengagungkan Sekolah Tinggi Menengah yang menjadi pusat tawuran antar pelajar. Di daerah kami juga, anak-anak dapat secara bebas membeli obat generik berlabel merah (red: keras) di apotik-apotik tanpa resep dokter, rokok dijual bebas bahkan dijual batangan sehingga pelajar mampu membelinya. Lebih miris lagi melihat pelajar bebas merokok di jalanan. Anak-anak sekolah juga bebas menggunakan kendaraan bermotor dengan bangganya, padahal telah dijelaskan pada Undang-undang No. 22 Tahun 2009 bahwa Dilarang keras mengendarai kendaraan bermotor bagi anak-anak di bawah usia 18 Tahun. Pertengkaran dan perceraian orang tua, bullying, pemalakan, dan penyalahgunaan zat menjadi karakteristik umum di daerah kami.
Belakangan ini, dampak media massa sudah semakin membabi-buta, terlebih sebagian besar dari remaja menonton televisi atau menggunakan internet tanpa dampingan orang tua sehingga mereka cenderung menelan mentah-mentah apa yang telah dilihatnya. Di daerah kami warnet-warnet masih bayak beroperasi. Bahkan beberapa warnet berjarak kurang dari 100 meter dengan sekolah. Positifnya adalah bahwa warnet tersebut dapat memudahkan pekerjaan rumah anak-anak, akan tetapi akan sangat berbahaya jika warnet tersebut dapat mengakses situs secara “blak-blakan” tanpa ada strict filter.
Di tengah dekadensi mental remaja seperti itu, ternyata masih banyak individu yang terpanggil untuk memberi peluang-peluang kepada orang lain untuk menjadi lebih baik. Saya kira masyarakat sudah harus mulai peduli dengan dekadensi mental remaja kita, terutama pihak-pihak berwenang (berhubungan dengan pelanggaran undang-undang). Orang tua juga harus mulai aware dengan pengaruh lingkungan dan media massa. Dunia pendidikan juga sudah harus mulai membuka mata atas fenomena yang banyak terjadi di lingkungan sekitar sekolah, lingkungan bermain anak-anak didik kita. Karena di tangan tenaga pendidik yang hebat, peduli, dan berdedikasi tinggi, dibantu dengan orang tua yang proaktif, masalah-masalah di atas saya yakin akan tercover. Setiap individu dilahirkan dengan potensi kebaikan dan akan kembali kepada kebaikan jika diarahkan kepada cara yang benar.
Bersambung…..
Ditulis oleh : Anne Rufaidah, S.Psi
Kepala Sekolah SMP Assyairiyah Attahiriyah